Komunikasi Menurut Perspektif al-Quran dan
Komunikasi Menurut Perspektif al-Quran dan
Oleh: Hartono, MA
A. Pendahuluan
Nabi
Muhammad adalah rasul untuk semua manusia (Qs. Sabak/34:28). Risalah yang Ia
bawa merupakan rahmat bagi semesta alam (Qs. Al-Ambiyak/21: 107) dan petunjuk
bagi semua umat (Qs. Al-Baqarah/2: 185). Sebagai Rasul penutup (Qs.al-Ahzab/33:
40) yang didedikasikan untuk semua orang, tentu dibutuhkan kompetensi
komunikasi yang jitu agar pesan ilahi bisa dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat. Selain itu, bahasa Arab yang dipilih oleh Allah sebagai bahasa
kalamnya tentu juga memiliki keistimewaan khusus.
Peradaban
masyarakat Medinah pada masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah komunikatif
Rasulullah SAW. Digambarkan, hubungan sosial masyarakatnya sangat hangat dan
indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan agama dan
etnis, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan ini tentu
tidak lepas dari kemampuan Rasulullah SAW dalam mengomunikasikan
ajaran-ajaran Ilahi dengan baik yang ditopang dengan keluhuran budi pekerti.
Dari dakwah
yang dilakukan jelas terlihat bahwa misi propetik Nabi adalah kebaikan dan
keselamatan duniawi dan ukhrawi (Qs. Al-Baqarah/2: 201). Juga keadaban dan
peradaban sekaligus H.A.R. Gibb di
dalam bukunya whitter
islam menyatakan, “Islam
is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”
(Islam sesungguhnya lebih dari sekedar agama, Islam adalah suatu peradaban yang
sempurna). Karena misinya yang universal maka Islam akan selalu relevan dengan
segala waktu (relevant to all space
time). [1]
Sebagai
kitab panduan universal untuk membumikan pesan-pesan langit, tentu al-Quran
memiliki keistimewaan komunikasi walaupun al-Quran sejatinya bukanlah kitab
komunikasi. Makalah ini setidaknya ingin menjawab tiga pertanyaan besar (1)
seperti apa kondisi sosio kultural dan geografis Arab pada saat diturunkannya
al-Quran? (2) Apa keunggulan bahasa Arab sehingga dipilih sebagai bahasa
al-Quran? (3) Seperti apa model-model komunikasi yang terdapat dalam al-Qur’an?
B. Sosio Kultural Masyarakat Arab
Menurut bahasa, Arab artinya padang pasir dan tanah gersang. Sebutan
Arab telah melekat sejak dahulu kala kepada Jazirah yang berbatasan dengan laut merah di barat, Teluk Arab di timur,
laut Arab di Selatan dan Syam di utara ini.[2] Jazirah Arab memiliki peranan yang
sangat besar karena letak geografisnya. Dikelilingi gurun pasir di segala
sudutnya membuat jazirah Arab seperti benteng kokoh yang sulit dicaplok dan
dijajah oleh bangsa manapun termasuk oleh Persia dan Romawi. Keuntungan
geografis ini menjadikan penduduknya hidup merdeka dan bebas dari penindasan
asing. Sekalipun begitu mereka tetap hidup berdampingan dengan dua imperium
yang besar saat itu.[3]
Namun, keuntungan letak geografis ini sekaligus juga menjadi kerugian
bagi penduduk Arab. Kultur padang pasir yang tandus dan sulit air, secara
evolutif telah membentuk manusia-manusia pasir di sepanjang Jazirah. yaitu
Komunitas masyarakat yang wataknya cendrung menyerupai pasir, dengan ciri utama
sulit disatukan dan labil.[4] Selain itu faktor kejahiliahan
secara sosiologis juga ikut menengglamkan pamor peradaban Arab di kancah
pergaulan internasional. Jahiliyah dalam artian tidak mengenal Tuhan yang hak,
manusia layaknya binatang, wanita diperjual belikan, anak perempuan dikubur
hidup-hidup, poliandri dan perzinaan
tidak dianggap ‘aib.[5]
Ditengah kondisi geografis dan
sosiologis yang kurang menguntungkan itu Nabi Muhammad SAW diutus untuk
mendakwahkan Islam dan peradaban baru. Peran sebagai seorang revolusioner
(Nabi) pada akhirnya mampu Rasul jalankan dengan sebaik-baiknya. Paling tidak
sebagaimana diungkapkan oleh Michael Heart, ada tiga faktor utama pendukung
suksesnya dakwah Islam kala itu, yaitu Teologi tauhid, etika, dan al-Qur'an. Ketiganya
dianggap perekat yang mampu mepersatukan penduduk jazirah. Suku Badui
yang senantiasa tergoda perpecahan dan
saling menyerang satu sama lain berubah menjadi prajurit-prajurit yang tangguh
dan berani. Keterpaduan dan semangat yang diteladankan Nabi Muhamamd mampu
membuat imperium Persia dan Romawi menyerah kalah tahun 637 M dan 642 M.[6]
Di balik tandusnya
alam dan jahiliyahnya masyarakat Arab kala itu, mereka juga memiliki beberapa keunggulan,
terutama dalam bidang sastra yang eksistensinya diakui oleh para sejarahwan
terkemuka dunia. Philip K. Hitty misalnya menulis dalam History of The Arab, ”Tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang
menunjukkan apresiasi yang sedemikian besar terhadap ungkapan bernuansa puitis
baik lisan maupun tulisan selain bangsa Arab. [7] Pasar
Ukaz yang menjadi Academie Francaise adalah
pusat festival para pujangga Arab kala itu. syair yang menjadi pemenang dalam
perlombaan tersebut nantinya akan dipamerkan di tengah masyarakat dengan cara
digantung di dalam Ka’bah, syair-syair ini dikenal dengan nama syair Mu’allaqât. Penyair-penyair
terkenal yang sering memenangkan perlombaan tersebut antara lain, Amru al-Qais,
Zuhair bin Abi Salmi, Al-‘Asya, Al-Hantsa, Zaid bin Tsabit, dan Hasan bin
Tsabit. Kemajuan syair-syair Arab pada masa ini, tak luput dari
perhatian ahli-ahli bahasa pada masa Islam, bahkan ‘Abdullah bin ‘Abbas rahimakumullah menjadikan syair-syair
jaman jahiliyah sebagai rujukan untuk mendefiniskan beberapa kata dalam
al-Qur’an yang kurang jelas maknanya, “syair/puisi adalah referensi orang Arab.[8]
Sebutan jahiliah yang melekat kepada masyarakat
Arab pada saat diutusnya Nabi Muhammad tidak
sepenuhnya tepat dimaknai dengan kebodohan dalam segala aspek kehidupan. Dilihat
dari historisitasnya sebenarnya orang pertama yang menamai bangsa arab pra
Islam jahiliah adalah Rasulullah SAW. Kata jahiliah dinisbatkan Rasululah untuk
menyebut bangsa arab sebelum Islam yang kafir, sombong dan selalu suka membangkang
pada kebenaran.
إِذْ جَعَلَ
الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ
فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka
kesombongan (yaitu) kesombongan (hamiyyah) jahiliah lalu Allah menurunkan
ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin” (Qs. Al-Fath : 26)
Menurut Ibnu
Kasir, diantara kesombongan dan ego para petinggi Qurays kala itu adalah penolakan
mereka terhadap tulisan bismillahirrahmanirrahim
dan penyebutan muhammad utusan Allah dalam surat-surat perjanjian mereka dengan
kaum muslimin.[9]
Bahkan ketika dikatakan kepada mereka لا إله إلا الله mereka menyombongkan diri (Qs. Shafat/37: 35)[10]
Ahmad Amin
seorang pakar sejarah dan kebudayaan Islam memberikan defenisi mengenai kata
jahiliah, menurut hemat beliau kata jahiliah bukanlah berasal dari kata jahl
yang berarti bodoh tiada ilmu tetapi jahl disini adalah dalam artian al-saffah, al-ghadhab, al-anfah
(merendahkan, berang, tolol).[11] Jadi bangsa arab jahiliah adalah
bangsa arab sebelum datangnya Islam yang keras kepala selalu membangkang kepada
kebenaran, mereka terus menentang kebenaran meskipun mereka tahu bahwa mereka
salah ataupun dalam posisi tidak benar.[12]
Sementara
Syalabi mengatakan bahwa masyarakat Arab tidak bisa disebut jahiliyyah (bodoh)
dalam pengertian barbar dan primitif. Justru banyak perilaku dan pengetahuan
positif yang dihasilkan mereka, yang kemudian dipelihara oleh Islam, misalnya
dalam penghormatan tamu, kedermawanan, tepat janji, bersahaja. Yang dimaksud
masyarakat jahiliyah sebelum datangnya Islam adalah keseluruhan masyarakat yang
menjauhi nilai-nilai fitrah, yang sudah dibawa oleh para Rasul pembawa risalah
tauhid.[13]
Jadi dapat
disimpulkan bahwa jahiliah orang-orang Arab sebelum Islam yang membangkang
kepada kebenaran, mereka terus melawan kebenaran, sekalipun mereka telah
mengetahui bahwa itu benar.
C. Keunggulan Bahasa Al-Qur’an
Dipilihnya bahasa Arab sebagai
bahasa al-Qur’an yang didedikasikan untuk seluruh manusia dan semua masa tentu
memiliki beragam alasan. Alasan utama tentu karena nabi adalah orang Arab yang berkomunikasi dengan bahasa
Arab. Alasan ini bersifat Tawqifi.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ
قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ
يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.
Kami tidak mengutus seorang
rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan
dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki,
dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Ibrahim/14: 4)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Qs. Yusuf/ 12: 2)
Selain itu, alasan dipilihnya
bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran karena bahasa Arab memiliki keistimewaan
dan keunggulan dibandingkan bahasa apapun di dunia. Philip K. Hitti menyebutkan
bahwa sulit menemukan bahasa yang mampu mempengaruhi fikiran para penggunanya
sedemikian dalam selain bahasa Arab. [14] Keindahan
bahasa al-Qur’an juga diakui oleh Janet Holmes, orientalis pemerhati bahasa.
Dia mengatakan bahwa al-Qur’an dilihat dari segi sosiolinguistik atau teori
diglosia dan poliglosia mengandung high variety (varitas kebahasaan yang
tinggi).
Menurut Ibnu Katsir di dalam tafsir al-Qur’anul
Azhim, pemilihan bahasa Arab sebagai media penyampaian al-Quran adalah
karena keunggulan bahasa itu sendiri.
وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات
وأبينها وأوسعها، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس؛ فلهذا أنزلَ أشرف
الكتب بأشرف اللغات، على أشرف الرسل، بسفارة
أشرف الملائكة، وكان ذلك في أشرف بقاع الأرض، وابتدئ إنزاله في أشرف شهور السنة وهو رمضان
Karena bahasa Arab adalah bahasa
paling fasih di dunia, paling jelas, paling luas dan paling berpengaruh
terhadap jiwa manusia. Karena itulah Allah menurunkan kitab paling mulia dengan
bahasa paling mulia, kepada rasul paling mulia, dengan perantara malaikat paling
mulia, di tempat paling mulia dan diturunkan pada malam paling mulia.[15]
Ketinggian bahasa (al-Qur’an) dan
isi yang dikandungnya, menunjukan suatu mukjizat yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun.
Tantangan untuk menandingi telah lama diajukan (Qs. al-Isra/ 17: 88)[16],
namun hasilnya tidak ada yang sanggup menjawab tantangan tersebut. Hal ini
dikarenakan Al-Qur’an teruji memiliki gaya bahasa (uslub) yang tinggi, ungkapan
kata (fashahah) yang jelas, dan kefasihan lidah (balaghah) yang dapat berpengaruh
terhadap jiwa pembacanya.
Keunggulan bahasa Arab ini juga dapat dilihat pada hadis-hadis[17] yang
disampaikan Rasulullah. Hadis yang berperan sebagai bayân
al-taqrîr (keterangan penegas), bayân al-tafsîr[18] (keterangan penjelas) bagi kandungan
al-Qur’an dan bayân al-tasyrî’ (keterangan penetap hukum) bagi masalah-masalah
yang tidak tertuang dalam al-Qur’an.[19] Tentu juga
memiliki tuntutan tinggi untuk mengimbangi keindahan bahasa al-Quran. Walaupun
sebagaimana yang dikatakan Imâm al-Qarâfi (w. 694 H), ulama pertama yang
menegaskan pemilahan-pemilahan rinci menyangkut ucapan atau sikap Nabi Muhammad
SAW baik ketika berperan sebagai rasul, mufti, hakim agung, pemimpin
masyarakat, maupun manusia biasa namun tetap saja Nabi memiliki keistimewaan
dan kekhususan-kekhususan yang
membedakannya dari manusia-manusia lain.[20] Mengenai
kepiawaian berbahasa dan berkomunikasi ini disampaikan sendiri oleh Rasulullah
SAW. Beliau menegaskan utitu jawami’
al-kalim/ Aku diberi anugerah Jawami’ al-Kalim (ungkapan singkat namun
padat makna). [21]
Jadi keunggulan bahasa Arab bukan saja dapat
dilihat dari muatan bahasanya tapi juga pada penuturnya sendiri. Berikut ini
akan diuraikan diantara keistimewaan bahasa Arab yang tidak terdapat dalam
bahasa-bahasa lain. Antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Kaya Kosa kata dan Jujur
Az-zabidy menyebutkan dalam “Tajul ‘Arus”,
bahasa arab memiliki kosa kata sebanyak 6.746.000. [22] Hal
senada juga diungkapkan oleh novelis termasyhur Jerman Gustav Freytag (1816
–1895M), “Bahasa arab adalah bahasa
paling kaya kosa katanya di dunia.” Saking kayanya bahasa Arab “Singa” memiliki
500 nama, “ular” memiliki 200 nama, “madu”memiliki 80 nama, “pedang” memiliki
1000 nama, “hujan”, “angin”, “kegelapan”, “unta”, “batu”, “air”, “sumur”,
memiliki lebih dari 300 nama”. Bandingkan dengan kosakata bahasa Indonesia yang
menurut mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan hanya
memiliki 100 ribu kosakata.[23]
Kejujuran
bahasa Arab dapat dilihat dari kesesuaian antara tulisan dan pengucapannya.
Sementara sebagian besar bahasa Eropa memiliki perbedaan antara tulisan dengan
pengucapan dimana hal ini tidak terjadi pada bahasa arab. Selain itu kekeliruan dalam membaca tanda panjang saja bisa mengubah makna
apalagi kalau salah dalam mengucapkan huruf. Perhatikan bentuk kesalahan arti
yang terjadi berikut ini:
No |
Bacaan benar |
Bacaan salah |
1 |
رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ Rab Semesta alam |
رَبِّ الْآلَمِينَ Rab kekejaman |
2 |
قَلْبٌ Hati |
كَلْبٌ Anjing |
3 |
لاَ
يُـحِبُّ الْكَافِرِيْنَ tidak menyukai orang
kafir |
لَيُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ sungguh menyukai
orang kafir |
4 |
قَوْمًا
صَالِحِيْنَ Kaum yang baik (Qs.
Yusuf/12: 9) |
قَوْمًا طَالِحِيْنَ Kaum yang jahat |
5 |
آمِيْــنَ Kabulkanlah |
أَمِنْ Aman |
2.
Keistimewaan huruf dan bunyi
Bahasa arab memiliki huruf dan bunyi huruf yang paling
lengkap. Sumber bunyi huruf bahasa arab paling luas diantara bahasa lain.
Tempat keluar huruf-huruf bahasa arab terbagi dari bibir hingga dasar
tenggorokan. Dalam bahasa inggris, mandarin, latin dan melayu, sumber huruf
hanya terletak pada lisan dan hidung. Komplitnya jenis huruf memungkinkan
bahasa arab untuk menjelaskan seluruh aspek dalam kehidupan secara singkat,
padat, jelas, dan indah didengar.
Karena
itu, akan sangat sulit kita menemukan kata bahasa arab dalam kamus
yang mengumpulkan huruf-huruf yang akan menyebabkan bunyi yang buruk jika
berada dalam satu kata. Contohnya ظ dan ز bersamaan, atau huruf ض
dan ذ
bersamaan, atau ه dengan ح, atau ه dengan خ.
Bunyi
dalam bahasa arab mampu menjelaskan makna dan berperan dalam mendeskripskan
sesuatu. Contohnya adalah bunyi huruf غ menunjukkan arti “tersembunyi”, “tidak
terlihat” dan “tertutup”. Hal ini bisa kita lihat dari makna beberapa kata:
غاب (hilang),
غار
(gua), غاص (menyelam),
غال (eksklusif),
غام(mendung),
dan huruf ج mengisyaratkan makna “kumpulan” seperti
yang kita perhatikan pada makna جمع
(berkumpul), جمد (padat),
جهد
(mengumpulkan upaya).
3.
Stabil
Berbeda dengan kitab suci agama lain yang hanya berlaku untuk masa
yang terbatas, Al-Qur’an sebagai
kitab suci diberlakukan untuk masa waktu
yang tak terhingga, bahkan sampai datangnya kiamat.
Maka bahasa yang digunakan Al-Qur’an haruslah bahasa yang tetap digunakan oleh
umat manusia sepanjang zaman dan tetap eksis sepanjang sejarah. Setiap
bahasa
punya usia, selebihnya hanya tinggal peninggalan sejarah. Bahkan bahasa Inggris
sekalipun masih mengalami kesenjangan sejarah. Maksudnya, bahasa Inggris yang
digunakan pada hari ini jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang
Inggris di abad pertengahan. Kalau Ratu Elizabeth II masuk ke lorong waktu dan
bertemu dengan ‘mbah buyut’-nya, King Arthur, yang hidup di abad pertengahan,
mereka tidak bisa berkomunikasi, meski sama-sama penguasa Inggris dizamannya.
Mengapa? Karena meski namanya masih bahasa Inggris, tapi kenyataannya bahasa
keduanya jauh berbeda. Karena
setiap bahasa mengalami perkembangan, baik istilah maupun grammar-nya. Setelah
beratus tahun kemudian, bahasa itu sudah jauh mengalami deviasi yang serius.
Yang demikian itu tidak pernah terjadi pada bahasa
Arab. Bahasa yang diucapkan oleh nabi Muhammad SAW sebagai orang arab yang
hidup di abad ke-7 masih utuh dan sama dengan bahasa yang dipakai oleh Raja
Abdullah, Tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa tetap terdengar
indah ketika dibacakan, namun tetap mengandung informasi kandungan yang kaya,
kecuali bahasa arab. Maka wajarlah bila Alloh SWT berfirman dengan bahasa arab.[24]
Ahli sastra dari Columbia
University, William York Tindall (1903 – 1981) berkata “Bahasa arab memiliki
karakter yang lembut dan fleksibel sehingga mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman.”
4.
Bahasa Arab adalah Bahasa yang Paling Banyak Diserap
Serapan dari bahasa Arab nyaris terdapat di hampir
semua bahasa asing lainnya yang ada di berbagai belahan bumi ini. Nyaris
bahasa-bahasa yang kita kenal sekarang ini, telah banyak menyerap kosa kata dan
istilah dari bahasa Arab. Salah satunya adalah bahasa Inggris dan tentunya
bahasa Indonesia. Bahkan bahasa ilmiah di dunia sains pun tidak lepas dari
pengaruh serapan kata dari bahasa Arab. Istilah alkohol, aljabar, algoritme dan
lainnya adalah bagian dari serapan dari bahasa arab.
5.
Indah dan
Tidak Membosankan
Salah satu keunikan bahasa arab adalah keindahan
sastranya tanpa kehilangan kekuatan materi kandungannya. Sedangkan bahasa lain
hanya mampu salah satunya. Kalau bahasanya indah, kandungan isinya menjadi
tidak terarah. Sebaliknya, kalau isinya informatif maka penyajiannya menjadi
tidak asyik diucapkan.
Ada sebuah pintu perlintasan kereta api yang modern di
Jakarta. Setiap kali ada kereta mau lewat, secara otomatis terdengar rekaman
suara yang membacakan peraturan yang terkait dengan aturan perlintasan kereta.
Awalnya, masyarakat senang mendengarkannya, tapi ketika setiap kali kereta mau
lewat, suara itu terdengar lagi, maka orang-orang menjadi jenuh dan bosan.
Bahkan mereka malah merasa terganggu dengan rekaman suara itu. Ada-ada saja
komentar orang kalau mendengar rekaman itu berbunyi secara otomatis.
Tapi lihatlah surat Al-Fatihah, dibaca orang ribuan
kali baik di dalam shalat atau di luar shalat, belum pernah ada orang yang
merasa bosan atau terusik ketika diperdengarkan. Bahkan bacaan Al-Qur’an itu
begitu sejuk di hati, indah dan menghanyutkan. Itu baru pendengar yang buta
bahasa arab. Sedangkan pendengar yang mengerti bahasa arab, pasti ketagihan
kalau mendengarnya.
D. Prinsip-prinsip Komunikasi dalam al-Qur’an
Berkomunikasi adalah hajat hidup semua orang. Tanpa
adanya komunikasi manusia akan sulit menjalankan tugas vitalnya sebagai
khalifah Allah di bumi. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75%
sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan
komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan,
memelihara kasih-sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban.
Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan,
menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan
menghambat pemikiran. [25]
Komunikasi juga menjadi salah
satu tema penting yang dibahas al-Quran karena sebagai kitab suci penutup yang
diturunkan untuk semua manusia, Al-Quran
bukan saja sekadar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan
(vertical Relationship), tetapi juga mengatur antara manusia dengan sesamanya
(Horizontal Relationship) serta manusia dengan lingkungannya. Salah satu
petunjuk al-Quran itu adalah komunikasi.
Walaupun al-Qur’an tidak
memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi, namun bila dilihat dari
proses diturunkannya al-Quran Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW melalui
perantara malaikat Jibril menegaskan kepada bahwa komunikasi merupakan salah
satu hal terpenting dalam dialektika Islam. Al-Quran sering dipahami:
“Kalâm
Allâh al-mu’jiz al-munazzal ‘alâ khâtim al-anbiyâ’ wa al-mursalîn bi wâsithah
al-amîn Jibrîl ‘alaih al-salâm al-maktûb fi al-mashâhif al-manqûl ilainâ bi
al-tawâtur al-muta’abbad bi tilâwatih al-mabdû’ bi sûrah al-fâtihah wa
al-mukhtatam bi sûrah al-nâs/Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat,
diturunkan kepada pemungkas para nabi dan rasul, melalui perantara malaikat
Jibril a.s., termaktub dalam berbagai mushaf, diriwayatkan kepada kita secara
mutawatir, bernilai ibadah kala dibaca, dimulai dengan Sûrah al-Fâtihah dan
diakhiri dengan Sûrat al-Nâs.[26]
Dalam proses turunnya wahyu, Allah SWT berperan
sebagai Sang Komunikator, malaikat Jibril dan Nabi Muhammad sebagai komunikan
dan bahasa Arab sebagai media. Ketiga komponen dasar komunikasi berupa
komunikator, media dan komunikan.[27]dapat terlihat jelas dalam proses
nuzul al-Quran.
Selain itu kalau merujuk kepada definisi Kata ‘komunikasi’ yang berasal dari bahasa Latin Latin
communis yang berarti 'sama', Communico, communicatio atau communicare yang
berarti membuat sama (make to common). Secara sederhana komunikasi dapat
terjadi apabila kita bisa saling memahami satu dengan yang lainnya
(communication depends on our ability to understand one another). [28] Maka
dapat disimpulkan bahwa ada proses dialektika pada proses turunnya wahyu dan
proses transmisinya kepada para sahabat.
Jika diteliti (ada) banyak ayat yang memberikan
gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk
kepada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari
prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term 1). Qaulan karî-man, 2). Qaulan balîghan, 3). Qaulan maisûran, 4). Qaulan ma’rûfan,
5). Qaulan layyinan, 6). Qaulan sadîdan,dan 4). Qaul al-zûr.
1.
Qaul Karîma
Kata karîma berarti yang mulia, agung, bangsawan.[29] Kata ini terdiri dari
huruf-huruf kaf, ra dan mim yang menurut
pakar bahasa mengandung makna yang mulia atau terbaik sesuai objeknya. Bila
dikatakan Rizqun karim maka yang dimaksud adalah rezeki yang halal dalam
perolehan dan pemanfaatannya serta memuaskan dalam kualitas dan kuantitasnya. [30]
Term Qaul Karîma (Komunikasi mulia) ditemukan di dalam al-Qur’an
hanya sekali, yaitu pada Qs. al-Isrâ’/17: 23,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.” (Qs. al-Isrâ’/17: 23)
Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua kewajiban terpenting
setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua.
Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan yang bersifat umum, karena setiap
manusia pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk
ciptaan Allah dan anak dari kedua orang tuanya. Menjaga hubungan dan menjalin
komunikasi yang baik dengan keduanya adalah suatu keniscayaan, mengingat penting
dan mulianya keduanya.
Ayat diatas menuntut agar apa yang disampaikan kepada
kedua orang tua bukan saja yang benar dan tepat, bukan saja juga yang sesuai
dengan adat kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, tetapi ia juga harus
yang terbaik dan termulia, dan kalaupun seandainya orang tua melakukan suatu
“kesalahan” terhadap anak, maka kesalahan itu harus dianggap tidak ada atau
dimaafkan karena tidak ada orang tua yang bermaksud buruk pada anaknnya[31]
Dalam sebuah
hadis dinyatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا
أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ[32]
Dari Abi Hurairah RA dari Nabi
SAW, beliau bersabda, “Merugilah, merugilah, merugilah (Nabi s.a.w.
mengucapkannya tiga kali). Ketika ditanyakan kepada beliau, siapa yang engkau
maksud wahai Rasulullah? Beliau pun bersabda: seseorang yang menemukan salah
satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia, maka “ia” tidak bisa masuk
surga. (HR.
Muslim)
Berkaitan
dengan inilah, al-Qur’an memberikan petunjuk bagaimana cara berperilaku dan
berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, disaat
keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-Qur’an
menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa
disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karîm, artinya Allah Maha
Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran
akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang akan dikatakan karîm, jika
kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya.
Namun,
jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu
perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang
membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan. Sayyid Quthb
menyatakan bahwa:
قولاً كريماً
وهي مرتبة أعلى إيجابية أن يكون كلامه لهما بشيء
بالإكرام والاحترام
Perkataan yang karīm, dalam
konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang
tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. [33]
Yakni, bagaimana ia berkata
kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati. Tidak
membentak, memperlakukannya penuh kerendah hatian, tidak menantang matanya dan
tidak menolak perintahnya.[34] Sementara itu as-Suyuthi
mengistilahkannya dengan perkataan yang indah lagi penuh kelemah lembutan.[35]
Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah
perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan
terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasihati
orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak
bermaksud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaannya.[36]
Jadi
term Qaul Karîma adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik,
yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan kepada lawan bicara.
2.
Qaul Balîgh
Kata Balîgh berarti fasih dan lancar bicaranya.[37] Di
dalam al-Qur’an term qaul balîgh hanya disebutkan sekali, yaitu pada Qs.
an-Nisâ’/4: 63
فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ
أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا
وَتَوْفِيقًا (62) أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ
مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ
قَوْلًا بَلِيغًا (63)
“Maka bagaimanakah halnya apabila
mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi
Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan
perdamaian yang sempurna”. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui
apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka yang berbekas pada jiwa
mereka.”
(QS. an-Nisâ’/4: 62-63)
Qs.
an-Nisâ’/4: 63 ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa
mereka tidak akan pernah bertahkim (berdamai) kepada Rasulullah SAW, meski
mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata
hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka
secara fisik (makna dari “berpalinglah dari mereka”), akan tetapi, cukup
memberi nasihat dengan berdialog kepada mereka dengan perkataan yang balîgh (fasih)
dalam rangka mencegah mereka. [38]
Kata balīgh, yang berasal dari ba-la-gha, oleh
para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa
dimaknai dengan “cukup” (al-kifāyah), karena kecukupan mengandung arti
sampainya sesuatu kepada batas yang dibutuhkan. Seseorang yang pandai menyusun
kata sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik lagi cukup dinamai balīgh. Muballigh adalah seorang yang
menyampaikan suatu berita yang cukup kepada orang lain.[39]
Ungkapan Qaul balīgh dalam konteks pembicara
dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan
sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak
bicara.
Menurut al-Ishfahani perkataan tersebut mengandung
tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan
isi perkataan adalah suatu kebenaran.[40] Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang
dikutip oleh M. Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu
pesan dianggap balîgh, antara lain:[41]
1. Tertampungnya
seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan
2. Kalimatnya
tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi
kabur
3. Pilihan kosa
katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar
4. Kesesuaian
kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
5. Kesesuaian
dengan tata bahasa
3. Prinsip Qaul Maisūr
Kata Maisūr
berarti yang mudah atau yang gampang. [42] Kata Maisūr hanya ditemukan sekali saja di dalam al-Qur’an, yaitu surah
al-Isra’/17: 28:
وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ
رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلًا مَيْسُورًا
“Dan jika kamu berpaling dari
mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah
kepada mereka ucapan yang pantas (lemah-lembut).” (Qs.
al-Isra’/17: 28)
Ibn Zaid berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan
kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah SAW, namun beliau tidak
mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali
membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya
beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau
tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun
begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan.”[43]
Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa
memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus
disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada
prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan
melegakan.[44] Ada juga yang menjelaskan, qaul
maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan
tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan qaul ma’rūf. Artinya, perkataan yang maisūr
adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi
masyarakat setempat.[45]
4. Prinsip Qaul Ma’ruf
Kata Qaul Ma’rûf berarti
perkataan yang baik, penuh keutamaan, dan dikenal.[46] Di dalam al-Qur’an term ini
disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Qs. al-Baqarah/2: 235, an-Nisâ’/4: 5 dan
8, al-Ahzâb/33: 32. Di dalam Qs. al-Baqarah/2: 235, qaul ma’rûf disebutkan
dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di
dalam Qs. an-Nisa’/4: 5 dan 8, qaul ma’rûf dinyatakan dalam konteks tanggung
jawab atas harta seorang anak yang belum memanfaatkannya secara benar (safîh).
Sedangkan di QS. al-Ahzâb/33: 32, qaul ma’rûf disebutkan dalam konteks
isteri-isteri Nabi SAW.
Kata ma’rûf
disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai
berikut:
1. Terkait dengan tebusan dalam masalah
pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
2. Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, ‘iddah, pergaulan
suami-isteri
3. Terkait dengan dakwah
4. Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
5. Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
6. Terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
Menurut Quraish Shihab qaul ma’rûf yakni kalimat-kalimat yang baik yang sesuai
dalam masing-masing masyarakat[47] Dari sinilah kemudian muncul
pengertian bahwa ma’rûf adalah kebaikan yang bersifat partikular, kondisional,
temporer dan lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari
setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing
kepentingan ruang dan waktu.
Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat
itu juga hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan,
juga orang-orang miskin dan anak-anak yatim, oleh al-Qur’an diperintahkan agar
berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma’rûf. Hal ini sangatlah tepat,
karena perkataan baik tidak bisa diformulasikan secara pasti, karena hanya akan
membatasi dari apa yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Di samping itu, juga akan
terkait dengan budaya dan adat-istiadat yang berlaku di masing-masing daerah.
Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma’rûf oleh suatu daerah, ternyata tidak
ma’rûf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang
diungkapkan oleh al-Qur’an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa
‘iddahnya, menasihati isteri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangkut
pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn ‘Asyur, qaul ma’rûf adalah
perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya.[48]
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul
ma’rûf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang
diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safîh);[49] perkataan yang mengandung
penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu; Perkataan yang tidak
menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[50]
5. Prinsip Qaul Layyin
Kata layyin secara etimologi berarti halus, segar, fleksibel,
dan keramahan.
[51] Di dalam al-Qur’an hanya
ditemukan sekali saja, Qs. Thâhâ/ 20: 43-44:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ
يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada
Fir’aun, sesungguhnya Dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar
atau takut”.
(Qs. Thâhâ/ 20: 43-44)
Qs. Thâhâ/ 20: 43-44 ini memaparkan kisah Nabi Musa AS
dan Harun AS ketika diperintahkan untuk
menghadapi Fir’aun, yaitu agar keduanya berkata kepada Fir’aun dengan
perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada
mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam
(isti’ârah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut. [52] Sementara yang dimaksud dengan
qaul layyin adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh,
di mana si pembi¬cara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan
adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau
pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin
adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak
orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.[53]
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa
Musa AS harus berkata lembut padahal Fir’aun adalah tokoh yang sangat jahat.
Menurut al-Razi, ada dua alasan, pertama, sebab Musa AS pernah dididik dan ditanggung kehidupannya
semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang,
yakni bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam
hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap
lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak
menghormatinya.[54]
Prinsip Qaul Layyin ini menjadi dasar tentang perlunya
sikap bijaksana dalam berdakwah yang antara lain ditandai dengan ucapan-ucapan
sopan yang tidak menyakitkan sasaran dakwah. [55]
6. Prinsip Qaul Sadîd
Qaul Sadîd menurut bahasa berarti benar, sesuai dan
ketepatan.[56] Orang
yang berkata menggunakan Qaul Sadîd berarti ia mengatakan sesuatu dengan benar
dan mengena tepat pada sasaran. [57]
Di dalam al-Qur’an qaul sadîd disebutkan dua kali, pertama, Qs
an-Nisa’/4: 9 dan kedua, Qs. al-Ahzâb/33: 70,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً
ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar.” (QS an-Nisa’/4: 9)
Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau
meninggal bermaksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal
anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang
harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul
sadīd. Misalnya, dengan perkatan, “bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak
atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib
anak-anakmu kelak.” Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepada
setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan
sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justeru akan menjadi beban orang
lain.
Dan kedua,
Qs. al-Ahzâb/33: 70,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا
قَوْلًا سَدِيدًا
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar.” (Qs. al-Ahzâb/33: 70)
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang
beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekuensi keimanan adalah
berkata dengan perkataan yang sadīd. Atau dengan istilah lain, qaul sadīd
menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan
ketaqwaan seseorang. Terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang
jujur dan tepat sasaran. [58]
Perkataan
yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain, pembicaraan yang tepat
sasaran dan logis, perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain, perkataan yang
memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.
Prinsip Qaul Sadîd, biasaya menggunakan kalimat yang
lebih terpilih, bukan saja yang kandungan maknanya benar tapi juga yang tepat.
Sehingga ketika dipakai untuk memberi informasi dan menegur jangan sampai
memunculkan kekeruhan dihati tapi informasi dan teguran yang disampaikan
hendaknya meluruskan kesalahan sekaligus membina. [59]
7. Prinsip Qaul Zûr
Kata Qaul Zûr
secara bahasa berarti kedustaan, kebohongan dan kepalsuan. [60] Di dalam al-Qur’an, qaul zûr
hanya ditemukan sekali, pada Qs. al-Hajj/22: 30,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ
لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. Maka itu adalah
lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua
binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta.” (Qs. al-Hajj/22: 30)
Qs. al-Hajj/22: 30 menjelaskan tentang seseorang yang mengagungkan
masyâ’ir harâm (apa-apa yang terhormat di sisi Allah) pada musim haji berupa
ibadah, menasik haji, tanah haram, pelaksanaan ihram, hewan kurban dan
lain-lain.
[61] yakni penghormatan yang
memotivasi dirinya untuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya adalah baik baginya dan akan mendatangkan kebaikan dunia dan
akhirat. Selain itu ayat ini
memerintahkan untuk menjauhi syirik dan perkataan dusta (zûr). Perktaan dusta
kepada Allah pada saat menyemblih maupun kepada sesama manusia.[62]
Asal makna kata
zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta),
karena menyimpang/melenceng dari yang semestinya atau yang dituju.[63] Menurut As-Sa’di, Allah
memerintahkan agar menjauhi seluruh perkataan yang diharamkan seperti perkataan
palsu, kedustaan dan persaksian palsu. Larangan ini Allah sampaikan setelah
Allah melarang mereka dari praktek kesyirikan dan tindakan keji. [64]
Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta saksi palsu.
Rasulullah SAW sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda: “saksi palsu itu
sebanding syirik. Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang
memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besarbahkan
termasuk tindak pidana.[65]
E. Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi sosio kultural dan geografis Arab pada
saat diturunkannya al-Quran sangat berpengaruh bagi perkebangan bahasa Arab
Bahasa Arab
memiliki beragam keunggulan dibandingkan bahasa lainnya di dunia sehingga dipilih
sebagai bahasa al-Quran.
Model-model
komunikasi yang terdapat dalam al-Qur’an yang dianggap cukup mewakili
komunikasi dalam al-Quran adalah term-term khusus yang diasumsikan sebagai
penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan
balîghan, qaulan maisûran, qaulan karî-man, qaulan ma’rûfan, qaulan layyinan,
qaulan sadîdan, juga termasuk qaul al-zûr,
Daftar Pustaka
Alî al-Shâbûnî, al-Tibyân fi
‘Ulûm al-Qur’ân, (Pakistan: Maktabah Busyra, 2011)
A. Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra,1997), h. 30.
Abbâs Mutawallî
Hamâdah, al-Sunnah al-Nabawiyyah
wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî, (Kairo: Dâr al-Qaumiyyah, 1965), h. 169-173
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jamî’
al-Bayân fî Tafsîr Âyi al-Qur`ân, t. th., jilid 5
Ahmad Amin, Fajr
al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1933), h. 69
Ahmad ibn Hanbal al-Syaibânî, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Dâr
al-Hadis, 1995), j. 17 h. 379 ; Muhammad
ibn Ismâ'îl al-Bukhârî, al-Adab al-Mufrad, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2005),
Al-Ishfahani, Gharīb al-Qur’an, (T.Tp: Maktabah
Syamilah, T.th)
al-Suyuthi, Jalal al-Din, Tafsir Jalalain, (http://www.altafsir.com)
Al-Zabidi, Tajul ‘Arus, (T.Tp: Mauqi’
al-Warraq, Maktabah Syamilah)
Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri (yogyakarta: Pesantren
Krapyak),
http://kunilapas.wordpress.com/2011/05/28/kenapa-alquran-diturunkan-dengan-bahasa-arab
http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid
34)
http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/16/05/09/o6wbc76-kosakata-bahasa-indonesia-hanya-100-ribu, berita diakses pada 5
November 2016
Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr
wa al-Tanwīr, (Tunis, Isa al-Babī al-Halabī, 1384 H), jilid 17
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm,
(Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2000).
Ismail Raji’
Faruqi, Tawhid: its imlication for thought and life, (Kuala Lumpur: Zafar Sdn.
BHd, 1986)
Jalaluddin Rahmat, Psikologi
Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), cet. ke-10, h. Kata
Pengantar.
”Komunikasi”, artikel diakses
pada 1 Februari 2017 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi
Michael Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa,
( Jakarta: Kharisma Publishing, 2005)
Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, 1415
H/1985 M, cet. ke-1)
Muhammad Musthafa al-A’dhami, Dirâsat fi al-Hadîts al-Nabawî wa Târîkh Tadwînih, (Beirut:
al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1414 H/1990 M
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim (Riyad: Dar al-Thayyibah, 2006)
Philip K. Hitti,
History Of The Arab, penterjemah R. Cecep Lukman (Jakarta: Serambi, 2005)
Al-Qurthubi, Al-Jāmi’ li ahkām Al-Qur’ān,
(T.Tp: Maktabah Syamilah, T.Th)
Quraish Shihab, M., Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2,
h. 468.
Said Agil Husin Al
Munawwar, Al-Qur’an: membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Said Aqiel Siraj, Kontroversi Aswaja, (Yogyakarta: Lkis,
2000)
Shafiyurrahman
al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah ,( Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2000),
Sulaimân ibn Ahmad al-Tabrânî, Mu'jam
al-Awsat, (Kairo: Dâr al-Haramain, 1415 H
Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam Yang Universal, temporal dan lokal, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994
YS. Gunadi, Himpunan
Istilah Komunikasi (Jakarta, GRASINDO, 1998)
Yûsuf Qardâwi, Al-Sunnah Masdaran
li al-ma’rifah wa al-Hadarah. Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema
Insani Press, 1418 H/1998 M)
[1]. Ismâil Râji’ Farûqi, Tawhid:
its imlication for thought and life, (Kuala Lumpur: Zafar Sdn. BHd, 1986),
h. 85
[2].Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Sirah
Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2000), h. 25
[3].Shafiyurrahman
al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah ,...
h. 26
[4].Said
Aqiel Siraj, Kontroversi Aswaja, (Yogyakarta: Lkis, 2000), h. 46
[5].Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Sirah
Nabawiyah, h. 60
[6].Michael Hart, 100 Tokoh Paling
Berpengaruh Sepanjang Masa, (Jakarta: Kharisma Publishing, 2005), h.
[7].Philip K. Hitti,
History Of The Arab, penterjemah R. Cecep Lukman (Jakarta: Serambi, 2005),
h. 112
[8].Philip K. Hitti, History Of The Arab…, h. 240
[9] Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, (al-Azhar Kairo: al-Maktabah ats-Tsaqafi, 2000), j. 4,
h. 193
[10]إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (الصافات/37: 35)
[11].Atabik Ali & Ahmad
Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri (yogyakarta: Pesantren Krapyak), h. 1068
[12].Ahmad Amin, Fajr
al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1933), h. 69
[13]. A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra,1997), h. 30.
[14] . Philip K. Hitti, History
Of The Arab… h. 112
[15].Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim…, j. 4, h. 365
[16].Qs. al-Isra/ 17: 88
قُلْ لَئِنِ
اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا
الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا.
Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al
Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
[17] Hadîts
menurut bahasa (etimologi) adalah al-Jadîd (baru), kabar atau berita. bentuk jamaknya
adalah ahâdîts. Sedangkan Hadîts menurut ahli Hadîs,
adalah: mâ utstsira ‘an al-nabî shalla Allâh ‘alaih wa sallam min qaul aw
fi’l aw taqrîr aw shifah khalqiyyah aw khuluqiyyah aw sîrah sawâ’ akâna qabl
al-bi’tsah am ba’dahâ/Apa-apa yang datang dari Nabi Saw baik berupa ucapan,
perbuatan, ketetapan, sifat jasmani maupun akhlaq, perjalanan hidup sebelum
diutus menjadi rasul maupun sesudahnya. Muhammad Musthafa al-A’dhami, Dirâsat
fi al-Hadîts al-Nabawî wa Târîkh Tadwînih, (Beirut: al-Maktabah
al-Islâmiyyah, 1414 H/1990 M
[18]Hadîts atau Sunnah
merupakan penafsiran al-Qur'ân dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara
faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi Muhammad Saw. merupakan
perwujudan dari al-Qur'ân
yang ditafsirkan untuk manusia,
serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Makna seperti
itulah yang dipahami oleh Umm al-Mukminîn 'Âisyah ra. dengan pengetahuannya
yang mendalam dan perasaannya yang tajam serta pengalaman hidupnya bersama
Rasûlullah Saw. Pemahamannya itu dituangkan dalam susunan kalimat yang diajukan
kepadanya tentang akhlak Nabi Muhammad Saw.
: “Akhlak beliau adalah al-Qur'ân” lihat Ahmad ibn Hanbal
al-Syaibânî, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Dâr al-Hadis, 1995), j. 17 h. 379 ; Muhammad ibn Ismâ'îl al-Bukhârî, al-Adab al-Mufrad, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2005), h. 89; Sulaimân
ibn Ahmad al-Tabrânî, Mu'jam al-Awsat,
(Kairo: Dâr al-Haramain, 1415 H), j. 1, h. 30 dengan lafazh كان خلقه
القرأن
[19] Fungsi-fungsi Hadîts
tersebut disepakati oleh para ulama. Tetapi disamping tiga fungsi itu, terdapat
satu fungsi yang diperselisihkan oleh mereka, yaitu hadis sebagai bayân al-naskh (keterangan penghapus)
bagi hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Diantara ulama yang mendukung fungsi
ini antara lain ulama Hanafiyyah,
Mu’tazilah dan Ibn Hazm al-Zhâhirî. Sementara itu, ulama yang menolak
diantaranya mayoritas Syâfi’iyyah dan mayoritas Zhâhiriyyah. Lihat 'Abbâs
Mutawallî Hamâdah, al-Sunnah
al-Nabawiyyah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî, (Kairo: Dâr al-Qaumiyyah, 1965),
h. 169-173
[20]Yûsuf Qardâwi, Al-Sunnah
Masdaran li al-ma’rifah wa al-Hadarah. Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 1418 H/1998 M), h. 50
[21]
Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah Ma’ani
al-Hadits tentang Ajaran Islam Yang Universal, temporal dan lokal,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 9
[22]
Al-Zabidi, Tajul ‘Arus, (T.Tp:
Mauqi’ al-Warraq, Maktabah Syamilah), h. 9
[23]“Kosakata Bahasa Indonesia”, berita diakses pada 5 November
2016 dari http://www.republika.
co.id/berita/ koran/didaktika/
16/05/09/o6wbc76-kosakata-bahasa-indonesia-hanya-100-ribu,
[24].”Kenapa al-Quran
diturunkan dengan bahasa Arab”, Artikel diakses pada http://kunilapas.wordpress.com/2011/05/28/kenapa-alquran-diturunkan-dengan-bahasa-arab berita
diakses pada 5 November 2016
[25].Jalaluddin Rahmat, Psikologi
Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), cet. ke-10, h. Kata
Pengantar.
[26].Lihat Muhammad Alî
al-Shâbûnî, al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Pakistan: Maktabah Busyra,
2011), h. 8
[27]. YS. Gunadi, Himpunan
Istilah Komunikasi (Jakarta, GRASINDO, 1998), h. 69.
[28].“Komunikasi”, artikel diakses pada 1 Februari 2017 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi
[29]. Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri (yogyakarta:
Pesantren Krapyak), h. 1504
[30]. M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, (Tangerang: Lentera Hati, 2007), vol. 7, h.
443.
[31]. M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 7, h. 444.
[32]. Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim (Riyad: Dar
al-Thayyibah, 2006)
[33]. Sayyid Quthb, Fī
Zhilāl al-Qur’ān, (T.Tp: Maktabah Syamilah, T.Th), juz
22, h. 318
[34]. Sayyid Quthb, Fī
Zhilāl al-Qur’ān, juz 22, h. 318
[35]. Jalal al-Din
al-Suyuthi dan Jalal Al-Din al-Mahallu, Tafsir Jalalain, (http://www.altafsir.com)
[36]. Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr
wa al-Tanwīr, (T.Tp: Maktabah Syamilah, T.Th), juz
22, h. 318juz 15, h. 70.
[37]. Atabik Ali &
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri, h. 355
[38]. Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm,
(Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2000), h. 502
[39]. Quraish Shihab,
M., Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2,
h. 468.
[40].Al-Ishfahani, Gharīb
al-Qur’an, (T.Tp: Maktabah Syamilah, T.th), j. 1, h. 61
[41].Quraish Shihab,
M., Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2,
h. 468.
[42]. Atabik Ali &
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri, h. 1871
[43].Al-Qurthubi, Al-Jāmi’
li ahkām Al-Qur’ān, (T.Tp: Maktabah Syamilah, T.Th) j. 10, h. 248.
[44]. Al-Qurthubi, Al-Jāmi’
li ahkām Al-Qur’ān, j. 10, h. 107.
[45]. Al-Razi, Mafātīh
al-Ghaīb, j. 20, h. 155
[46]. Atabik Ali &
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri, h. 1764
[47]. Quraish Shihab,
M., Tafsir al-Mishbah, j. 8, 339
[48]. Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr,
jilid 4, h. 252 dan al-Sya’rawi, Tafsīr al-Sya’rawi, jilid 4: 2016.
[49]. Al-Razi, Mafātīh,
jilid 9, h. 152
[50]. Al-Razi, Mafātīh,
jilid 9, h. 161
[51]. Atabik Ali &
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri, h. 1572
[52]. Quraish Shihab,
M., Tafsir al-Mishbah, j. 8, h. 46
[53]. Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr,
jilid 16, h. 225
[54]. Al-Razi, Mafātīh,
jilid 22, h. 51.
[55]. Quraish Shihab,
M., Tafsir al-Mishbah, j. 8, h. 46
[56]. Atabik Ali &
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri, h. 1054
[57]. M. Qurais Shihab,
Tafsir al-Mishbah, V. 2, h. 338
[58]. M. Qurais Shihab,
Tafsir al-Mishbah, V. 2, h. 338
[59]. M. Qurais Shihab,
Tafsir al-Mishbah, V. 2, h. 338
[60]. Atabik Ali &
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri, h. 1027
[61]. Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di, Tafsir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Jakarta:
Darul Haq, 2012), penerjemah Muhammad Iqbal dkk. J. 4, h. 721
[62]. M. Qurais Shihab,
Tafsir al-Mishbah, V. 2, h. 47
[63]. Atabik Ali &
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Ashri, h. 1027
[64]. Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di, Tafsir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, j.
4, h. 21-22
[65]. Al-Qurthubi, Al-Jāmi’
li ahkām Al-Qur’ān, j. 12, h. 53
0 Response to "Komunikasi Menurut Perspektif al-Quran dan"
Posting Komentar