Tafsir Surat al-Kafirun
Tafsir Surat al-Kafirun
A. Ayat
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
(2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا
عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ
وَلِيَ دِينِ (6)
B. Arti
“Katakanlah: “Hai orang-orang
kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 1-6)
C. Isi Surat Al Kaafirun
1. Surat ini berisi ajaran berlepas diri dari amalan yang dilakukan oleh
orang-orang musyrik.
2. Surat ini berisi perintah untuk ikhlas dalam melakukan amalan (yaitu murni
ditujukan pada Allah semata).
Ikhlas dalam bertauhid dan ikhlas dalam beribadah
D. Asbabun Nuzul
Maka bermufakatlah pemuka-pemuka Quraisy musyrikin itu
hendak menemui Nabi. Mereka bermaksud hendak mencari, “damai”. Yang mendatangi
Nabi itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina – ialah Al-Walid bin
Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf.
Mereka kemukakan suatu usul damaki: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami
bersedia menyembah apa yang engkau sembah tetapi engkau pun hendaknya bersedia
pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan di negeri kita ini,
engkau turut serta bersama kami. Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada
baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya
dengan engkau. Dan jika kami yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan
itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami, sama mengambil
bahagian padanya.” – Inilah usul yang mereka kemukakan. (Tafsir al-Azhar)
E. Kebiasaan Nabi
Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Membaca
Surat Al Kaafirun
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia mengatakan,
كَانَ يَقْرَأُ فِى
الرَّكْعَتَيْنِ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) وَ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca di shalat dua raka’at thowaf yaitu surat Qul Huwallahu Ahad (Al Ikhlas)
dan surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun).” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَرَأَ فِى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ (قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa membaca di dua raka’at sunnah Fajr (Qobliyah Shubuh) yaitu surat Qul Yaa
Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun) dan surat Qul Huwallahu Ahad (Al Ikhlas).” (HR.
Muslim no. 726)
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
رَمَقْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعًا وَعِشْرِينَ مَرَّةً ، أَوْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ
مَرَّةً يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ وَبَعْدَ الْمَغْرِبِ
{قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} ، {وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ}.
“Saya melihat Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam shalat sebanyak dua puluh empat atau dua puluh lima kali. Yang beliau
baca pada dua rakaat sebelum shalat subuh dan dua rakaat setelah maghrib adalah
surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun) dan surat Qul Huwallahu Ahad (Al
Ikhlas).” (HR. Ahmad 2/95. Syaikh Syu;aib Al Arnauth mengatakan, sanad hadits
ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
F. Tafsir Surat Al Kaafirun
Firman Allah Ta’ala,
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
“Katakanlah: “Hai orang-orang
kafir”.
1. Kata Qul/ katakanlah menandakan bahwa tidak ada wahyu yang
disembunyikan nabi sedikitpun
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ
رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (المائدة/5: 57)
Dari kata balligh
muncul istilah tabligh yang berarti menyampaikan kebaikan dengan cara yang
baik, kebenaran dengan cara benar (transparan)
Pada
tahun 2002 sebuah lembaga leadership international yang bernama “The Leadership
Challenge” telah melakukan survey
karakteristik CEO (Chief Executive Officer) di 6 benua (Afrika, Amerika
Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, Australia. Masing-masing responden diminta
untuk menilai 7 karakteristik CEO ideal mereka. Dan berikut hasil surveynya:[1]
No |
Karakter CEO |
Bersumber dari sifat Tuhan |
1 |
Jujur |
Al –Haqq (Yang Maha
Benar) |
2 |
Berpikiran maju |
Al-Aakhir (Yang Maha Akhir) |
3 |
Memberi inspirasi |
Al-Baa’its (Yang Maha
Membangkitkan) |
4 |
Adil |
Al-‘Adl (Yang Maha Adil) |
5 |
Mendukung |
Al-Wahhaab (Yang Maha Memberi) |
6 |
Berpandangan luas |
Al-Waasi’ (Yang Maha Luas) |
7 |
Cerdas |
Ar-Rasyiid (Yang Maha Cerdas) |
8 |
Corporative |
Al-Jaami’ (Yang Maha Mengumpulkan) |
9 |
Imaginative |
Al-Mushawwir (Yang Maha Menggambar) |
10 |
Loyal |
Al-Waliyy (Yang Maha Mewakili) |
2. Nabi adalah Uswah Hasanah
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah. (Q.S. Al-Ahzab/33: 21).
Nabi
itu adalah suri teladan (uswah hasanah) dalam segala kondisinya. Perkataannya,
perbuatannya, sikapnya, kesabarannya, kesungguhannya, optimismenya terhadap
pertolongan Allah. Nabi itu adalah contoh terbaik dan utama. (Wahbah
al-Zhuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarîah wa al-Manhaj
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2009 ), j. XI, h. 298
Menurut
Rahmat Hidayat dalam bukunya “Muhammad
SAW the super teacher” keteladanan beliau meliputi[2]
a) Jujur
(honesty) seperti nabi diam ketika ditanya tentang Ruh (Qs. Al-Isral17: 85),
tidak menjawab pertanyaan tentang warisan hingga turun ayat yang menjelaskan
(HR. Bukhari no. 7309)
b) Lemah
lembut (Tendernes). Seperti ketika nabi menasehati Umar bin Abi salamah ketika
ia ikut makan bersama secara serampangan dalam sebuah nampan besar, “Wahai anak
(ya ghulam) bacalah bismillah. Makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang
dekat denganmu (HR. Bukhari no. 4957)
c) Sabar
(Patience)
d) Tawadhu’
(Hunble). Seperti beliau tidak mau sahabatnya berdiri tegak ketika melihat
rasulullah SAW walaupun kecintaan mereka kepada Rasulullah sangat tinggi. (HR.
Bukhari no. 949)
e)
Mencari keberadaan murid (Eager to seek for
learners). Seperti nabi mencari keberadaan Abu Hurairah untuk menjelaskan mukmin itu tidak najis
karena junub (HR. Bukhari), Tsabit bin Qais untuk menenangkan beliau karena
Tsabit menganggap dirinya masuk neraka sebab suka bicara dengan nada tinggi
sementara Qs. al-Hujurat/49: 2 yang baru diturunkan mengancam pelakukanya akan
masuk neraka.
3. Kafirun
1. Kafir secara bahasa berarti tertutup
2. Musyrik dan ahlu kitab
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ (البينة: 6)
3. dulu sebutan kafir dipakai
buat para petani yang lagi menanam benih di ladang, menutup/mengubur dengan
tanah sampai - sampai kafir
4. Macam kekafiran\
a.
Kufur
at-tauhid (Menolak tauhid)
b.
Kufur
al-ni`mah (mengingkari nikmat)
c.
Kufur
at-tabarri (melepaskan diri) (Al-Mumtahanah ayat 4)
d.
Kufur
al-juhud: Mengingkari sesuatu (Al-Baqarah ayat 89)
e.
Kufur
at-taghtiyah: (menanam/mengubur sesuatu) (Al-Hadid 20)
5. Pembagian orang kafir
a.
Kafir
dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut
tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin (QS.
At-Taubah : 29).
b.
Kafir
mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan
antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang
telah disepakati.
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ
رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ
عَامًا (البخاري)
c.
Kafir
harby,
Fatwa Syaikh Ibnu Baz
Tentang Mengganggu Turis Dan Tamu Asing
Al-albani Menyelisihi hadis
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
“Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah”,
1. yaitu berhala dan tandingan-tandingan selain Allah.
2. IBADAH
Ibadah
menurut bahasa (etimologi) adalah merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan
menurut syara’ (terminologi), seperti yang diungkapkan Ibnu Taimiyah adalah:
اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ
اللَّهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
فَالصَّلَاةُ وَالزَّكَاةُ وَالصِّيَامُ وَالْحَجُّ وَصِدْقُ الْحَدِيثِ وَأَدَاءُ
الْأَمَانَةِ ؛ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ وَالْوَفَاءُ
بِالْعُهُودِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ .
وَالْجِهَادُ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ
وَالْيَتِيمِ وَالْمِسْكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالْمَمْلُوكِ مِنْ
الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ وَالدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالْقِرَاءَةِ
“Semua urusan hidup manusia
yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan dan perbuatan
yang batin dan yang zhahir seperti shalat, zakat, puasa, haji, jujur bicara,
menunaikan amanat, berbuat baik kepada kedua orang tua, silaturrahim,
menunaikan janji, memerintah yang makruf, melarang yang mungkar, jihad melawan
orang kafir dan orang munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang
miskin, ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan), pembantu, binatang, berdo’a,
berdzikir, membaca al-Qur’an dan lain-lain”. (Majmu’ al-Fatawa, j 2, h.
361)
Sementara menurut as-Sa’di Ibadah Adalah:
مَعْرِفَتُــــــــــــهُ
وَمَحَبَّتُـــــه، والإِنَابَةُ إِلَيْهِ والإِقْبَالُ عَلَيْه، وَالإِعْرَاضُ
عَمَّا سِوَاهُ
“Berilmu tentang Allah, mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, menghadap
kepada-Nya, dan
berpaling dari selain-Nya.” (Tafsir as-Sa’di, j 7, h. 35)
Maksud firman Allah selanjutnya,
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
“Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah”, yaitu yang aku sembah adalah Allah semata, tidak
ada sekutu bagi-Nya.
Allah Ta’ala firmankan selanjutnya,
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah”, maksudnya adalah aku tidak akan beribadah
dengan mengikuti ibadah yang kalian lakukan, aku hanya ingin beribadah kepada
Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhoi.
Oleh karena itu selanjutnya Allah Ta’ala
mengatakan kembali,
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
“Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah”, maksudnya adalah kalian
tidak akan mengikuti perintah dan syari’at Allah dalam melakukan ibadah, bahkan
yang kalian lakukan adalah membuat-buat ibadah sendiri yang sesuai selera hati
kalian. Hal ini sebagaimana Allah firmankan,
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ
وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
“Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.”
(QS. An Najm: 23)
Ayat-ayat ini secara jelas menunjukkan
berlepas diri dari orang-orang musyrik dari seluruh bentuk sesembahan yang
mereka lakukan.
Seorang hamba seharusnya memiliki
sesembahan yang ia sembah. Ibadah yang ia lakukan tentu saja harus mengikuti
apa yang diajarkan oleh sesembahannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para pengikutnya menyembah Allah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan.
Inilah konsekuensi dari kalimat Ikhlas “Laa ilaha illallah, Muhammadur
Rasulullah”. Maksud kalimat yang agung ini adalah “tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan jalan cara untuk
melakukan ibadah tersebut adalah dengan mengikuti ajaran Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam”. Orang-orang musyrik melakukan ibadah kepada
selain Allah, padahal tidak Allah izinkan. Oleh karena itu Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku.” Maksud ayat ini sebagaimana firman Allah,
وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ
بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Jika mereka mendustakan kamu,
maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri
terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi kami amal-amal kami dan
bagi kamu amal-amal kamu.” (QS. Asy Syura: 15)
Imam Al Bukhari mengatakan,
1.
DARI ASPEK HISTORIS penciptaan,
manusia disebut dengan bani Adam/
keturunan Adam. (Qs. Al- A’raaf/ 7: 172)
2.
DARI
ASPEK BIOLOGIS manusia disebut dengan basyar, yang mencerminkan sifat-sifat fisik-kimia-biologis. (Qs. Al-Mukminun/ 23: 33)
3.
DARI
ASPEK KECERDASAN manusia disebut dengan insan yakni makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu
menyerap ilmu pengetahuan. (Qs. Ar-Rahman/55: 3-4)
4.
DARI
ASPEK SOSIOLOGIS manusia disebut annas yang menunjukkan sifatnya yang suka berkelompok dengan sesama jenisnya. (Qs. Al-Baqarah/ 2: 21)
5.
DARI
ASPEK POSISINYA manusia disebut ‘abdun (hamba) yang menunjukkan kedudukannya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan
patuh kepada-Nya. (Qs. Saba/ 34: 9)
( لَكُمْ دِينُكُمْ ) الْكُفْرُ . ( وَلِىَ دِينِ ) الإِسْلاَمُ
وَلَمْ يَقُلْ دِينِى ، لأَنَّ الآيَاتِ بِالنُّونِ فَحُذِفَتِ الْيَاءُ كَمَا
قَالَ يَهْدِينِ وَيَشْفِينِ . وَقَالَ غَيْرُهُ ( لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ )
الآنَ ، وَلاَ أُجِيبُكُمْ فِيمَا بَقِىَ مِنْ عُمُرِى ( وَلاَ أَنْتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ) . وَهُمُ الَّذِينَ قَالَ ( وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا
مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا )
“Lakum diinukum”,
maksudnya bagi kalian kekafiran yang kalian lakukan. “Wa
liya diin”, maksudnya bagi kami agama kami. Dalam ayat ini tidak
disebut dengan (دِينِى) karena kalimat tersebut sudah terdapat huruf “nuun”,
kemudian “yaa” dihapus sebagaimana hal ini
terdapat pada kalimat (يَهْدِينِ) atau (يَشْفِينِ). Ulama lain mengatakan bahwa ayat (لاَ أَعْبُدُ مَا
تَعْبُدُونَ), maksudnya adalah aku tidak menyembah apa yang kalian sembah
untuk saat ini. Aku juga tidak akan memenuhi ajakan kalian di sisa
umurku (artinya: dan seterusnya aku tidak menyembah apa yang kalian sembah),
sebagaimana Allah katakan selanjutnya (وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ). Mereka mengatakan,
وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ
رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا
“Dan Al Quran yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran
bagi kebanyakan di antara mereka.” (QS. Al Maidah: 64). Demikian
yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari.
Mengenai Ayat Yang Berulang dalam Surat Ini
Mengenai firman Allah yang berulang
dalam surat ini yaitu pada ayat,
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا
أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ (5)
“Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.”
Ada tiga pendapat dalam penafsiran ayat
ini:
Tafsiran pertama: Menyatakan bahwa
maksud ayat tersebut adalah untuk penguatan makna (ta’kid). Pendapat ini
dinukil oleh Ibnu Jarir dari sebagian pakar bahasa. Yang semisal dengan ini
adalah firman Allah Ta’ala,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
(6)
“Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Alam Nasyroh: 5-6)
Begitu pula firman Allah Ta’ala,
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ
(7)
“Niscaya kamu benar-benar akan
melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan
‘ainul yaqin.” (QS. At Takatsur: 6-7)
Tafsiran kedua: Sebagaimana yang
dipilih oleh Imam Bukhari dan para pakar tafsir lainnya, bahwa yang dimaksud
ayat,
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا
أَعْبُدُ
“Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.”
Ini untuk masa lampau.
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ (5)
“Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang aku sembah.” Ini untuk masa akan datang.
Tafsiran ketiga: Yang dimaksud
dengan ayat,
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
“Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah.” Yang dinafikan (ditiadakan di sini) adalah
perbuatan (menyembah selain Allah) karena kalimat ini adalah jumlah fi’liyah
(kalimat yang diawali kata kerja).
Sedangkan ayat,
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
“Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah.” Yang dimaksudkan di sini adalah
penafian (peniadaan) menerima sesembahan selain Allah secara total. Di sini
bisa dimaksudkan secara total karena kalimat tersebut menggunakan jumlah
ismiyah (kalimat yang diawali kata benda) dan ini menunjukkan ta’kid (penguatan
makna). Sehingga seakan-akan yang dinafikan dalam ayat tersebut adalah
perbuatan (menyembah selain Allah) dan ditambahkan tidak menerima ajaran
menyembah selain Allah secara total. Yang dimaksud ayat ini pula adalah
menafikan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin sama sekali
menyembah selain Allah. Tafsiran yang terakhir ini pula adalah tafsiran yang
bagus. Wallahu a’lam.
Faedah Berharga dari Surat Al Kafirun
1.
Dalam ayat ini dijelaskan adanya
penetapan aqidah meyakini takdir Allah, yaitu orang kafir ada yang terus
menerus dalam kekafirannya, begitu pula dengan orang beriman.
2.
Kewajiban berlepas diri (baro’) secara
lahir dan batin dari orang kafir dan sesembahan mereka.
3.
Adanya tingkatan yang berbeda antara
orang yang beriman dan orang kafir atau musyrik.
4.
Ibadah yang bercampur kesyirikan (tidak
ikhlas), tidak dinamakan ibadah.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Referensi:
Aysarut Tafasir, Abu Bakr Jabir Al
Jazairi
Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah
Taysir
Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah.
Sumber : https://rumaysho.com/1062-faedah-tafsir-surat-al-kafirun.html
0 Response to "Tafsir Surat al-Kafirun"
Posting Komentar